Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Guna mencapai tujuan tersebut pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan, termasuk di bidang ekonomi dan keuangan. Sektor perbankan memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi (financial intermediary) untuk menunjang kelancaran perekonomian.
Bank syariah sebagai sub bagian dari sistem perbankan di Indonesia yang berada dibawah naungan BI secara yuridis dan hirarkis tentunya tunduk pada aturan perbankan umum termasuk segala aturan yang menyangkut kebijakan moneter (Makro) yang bersinggungan dengan perbankan secara keseluruhan. Perbedaan utamanya dengan bank konvensional adalah terletak pada sistem bagi hasil (lost profit and sharing), adanya Dewan Pengawas Syariah (DSN) dan lembaga penyelesaian sengketa melalui Basyarnas dan Pengadilan Agama.
Sengketa biasanya terjadi karena adanya suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Dalam industri perbankan sering kali terjadi sengketa antara bank dan nasabah yang terkait dengan produk bank, terutama dalam sektor pembiayaan/kredit (lending). Pihak nasabah sebagai debitor tidak selamanya mampu menjaga komitmen dalam melakukan pembayaran utang kepada bank sebagai pihak kreditor. Sebenarnya kesepakatan antara nasabah dan bank telah tertuang dalam suatu perjanjian atau akad notaril yang ditandatangani kedua belah pihak, sehingga tak jarang nasabah sebagai debitor dipailitkan oleh bank karena gagal bayar atas utangnya. Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, maka sengketa antara nasabah dan bank yang terkait dengan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang sangat mungkin juga terjadi pada perbankan syariah.
Pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 093/PUU-X/2012, quo vadis tentang dualisme kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah telah berakhir. Peradilan Agama secara legal konstitusional menjadi satu-satunya institusi yang berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui jalur litigasi.3 Namun kewenangan ini tidak sepenuhnya berjalan, masih ada sengketa ekonomi syariah lain yang penyelesaiannya diputus oleh Pengadilan Niaga dalam lingkup Peradilan Umum yaitu sengketa kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) pada lembaga keuangan syariah.
Secara normatif, seharusnya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUX/2012 tanggal 29 Agustus 2013, tidak lagi dimungkinkan penyelesaian sengketa lembaga keuangan syariah secara litigasi melalui Pengadilan Niaga dalam lingkup Peradilan Umum.
Semua jenis sengketa lembaga keuangan syariah seharusnya sudah menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama untuk mengadilinya termasuk sengketa kepailitan dan PKPU pada lembaga keuangan syariah.
Referensi :
Hasan, Ali, Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah, Jakarta: Pusat
Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007.
Ibrahim, Johannes, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan
Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Bandung : PT.Bandung Utomo, 2003.