Pengertian fiqh siyasah (Siyasah Syar’iyyah) di dalam hukum Islam, perlulah untuk diketahui dulu sistematika hukum Islam secara umum. Dengan diketahui sistematika hukum Islam, maka dapatlah difahami kedudukan fiqih siyasah di dalam sistematika hukum Islam. Secara global hukum Islam dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia kepada Tuhannya (‘ibadah) dan hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum (mu’amalah). Tatanan yang pertama sudah jelas, tegas dan tidak mengalami perkembangan, tidak membuka peluang untuk penalaran manusia. Sedangkan tatanan yang kedua dasarnya adalah segala sesuatu yang menyangkut hak-hak sesama manusia. Ketentuan-ketentuannya dijelaskan secara umum, dan masih dapat dikembangkan lebih lanjut untuk mewujudkan kemaslahatan yang merupakan tujuan utama dan menegakkan ketertiban hubungan dalam kehidupan masyarakat.[1]
Objek kajian fiqh siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga negara, hubungan antar warga negara dengan lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga negara, baik hubungan yang bersifat intern suatu negara maupun hubungan yang bersifat ekstern antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan. Dari pemahaman seperti itu, tampak bahwa kajian siyasah memusatkan perhatian pada aspek pengaturan.
Penekanan demikian terlihat dari penjelasan T.M. Hasbi al Shiddieqy yang menyatakan objek kajian siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan penadbirannya, dengan mengingat persesuaian penadbiran itu dengan jiwa syariah, yang kita tidak peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nash-nash yang merupakan syariah ‘amah yang tetap. Hal yang sama ditemukan pula pada pernyataan Abul Wahhab Khallaf bahwa objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya.[2]
Secara garis besar maka objeknya menjadi, pertama, peraturan dan perundang-undangan, kedua, pengorganisasian dan pengaturan kemaslahatan, dan ketiga, hubungan antar penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara. Metode yang digunakan dalam membahas Fiqh siyasah tidak berbeda dengan metode yang digunakan dalam membahas Fiqh lain, dalam Fiqh siyasah juga menggunakan Ilm Ushul Fiqh dan Qowaid fiqh. Secara umum, metode yang digunakan adalah al-ijma’, al-Qiyas, alMashlahah al-Mursalah, Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah, al-‘Adah, alIstihsan dan Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah. Adapun perincianya sebagai berikut:[3]
- Al-Ijma’
Al-Ijma’ merupakan kesepakatan (konsensus) para fuqaha (ahli fiqh) dalam satu kasus. Misalnya pada masa khalifah Umar ra. Dalam mengatur pemerintahannya Umar ra melakukan musyawarah maupun koordinasi dengan para tokoh pada saat itu. Hal-hal baru seperti membuat peradilan pidana-perdata, menggaji tentara, administrasi negara dll, disepakati oleh sahabat-sahabat besar saat itu. Bahkan Umar ra mengintruksikan untuk shalat tarawih jama’ah 20 raka’at di masjid, merupakan keberaniannya yang tidak diprotes oleh sahabat lain. Hal ini dapat disebut ijma’ sukuti.
- Al-Qiyas
Dalam fiqh siyasah, qiyas digunakan untuk mencari umum al-ma’na atau Ilat hukum. Dengan qiyas, masalah dapat diterapkan dalam masalah lain pada masa dan tempat berbeda jika masalah-masalah yang disebutkan terakhir mempunyai ilat hukum yang sama. Dalam hal qiyas berlaku kaidah :
“Hukum berputar bersama ilatnya, ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya ilat hukum tersebut.
- Al-Mashlahah al-Mursalah
Al-mashlahah artinya mencari kepentingan hidup manusia dan mursalah adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash al-Qur’an dan alSunah yang menguatkan atau membatalkan. Al-mashlahah al-mursalah adalah pertimbangan penetapan menuju maslahah yang harus didasarkan dan tidak bisa tidak dengan استقراء) hasil penelitian yang cermat dan akurat).
- Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah
Sadd al-Dzari’ah adalah upaya pengendalian masyarakat menghindari kemafsadatan dan Fath al-Dzari’ah adalah upaya perekayasaan masyarakat mencapai kemaslahatan. Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah adalah “alat” dan bukan “tujuan”, contohnya ialah pelaksanaan jam malam, larangan membawa senjata dan peraturan kependidikan. Pengendalian dan perekayasaan berdasar sadd al-dzari’ah dan fath al-dzari’ah dapat diubah atau dikuatkan sesuai situasi. Dalam hal Sadd al-Dzari’ah dan Fath alDzari’ah berlaku kaidah :
للوسا ئل حكم املقاصد
“Hukum ‘alat’ sama dengan hukum ‘tujuan’nya”
- Al-‘Adah
Kata Al-‘Adah disebut juga Urf. al-‘Adah terdiri dua macam, yaitu : al-‘adah al sholihah yaitu adat yang tidak menyalahi syara’ dan al-‘adah alfasidah yaitu adat yang bertentangan syara’. Dalam hal Al-‘adah berlaku kaidah : العادة حمكمة “Adat bisa menjadi hukum”.
- Al-Istihsan
Al-Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus kepada ketetapan dalam umum. Dengan kata lain berpindah menuju dalil yang lebih kuat atau membandingkan dalil dengan dalil lain dalam menetapkan hukum. Contoh menurut al-Sunnah tanah wakaf tidak boleh dialihkan kepemilikannya dengan dijual atau diwariskan, tapi jika tanah ini tidak difungsikan sesuai tujuan wakaf, ini berarti mubazir. AlQur’an melarang perbuatan mubazir, untuk kasus ini maka diterapkan istihsan untuk mengefektifkan tanah tersebut sesuai tujuan wakaf.
- Kaidah-Kaidah Kulliyah Fiqhiyah Kaidah-kaidah kulliyah fiqhiyah adalah sebagai teori ulama yang banyak digunakan untuk melihat ketetapan pelaksanaan fiqh siyasah. Kaidah-kaidah itu bersifat umum. Oleh karena itu, dalam penggunaannya, perlu memperhatikan pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Kaidah-kaidah yang sering digunakan dalam fiqh siyasah, antara lain:
اْلكمَيدوروَمعَعلتهَوجوداَوعدما ‚
Hukum berputar bersama illatnya, ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya illat hukum tersebut.
تغري األحكام بتغري األزمنة واألمنكة واألحول والعواعد والنيات ‚
Hukum berubah sejalan dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, kebiasaan dan niat.
دفع املفاسد وجلب املصاحل ‚
Menolak kemafsadatan dan meraih kemaslahatan.
Pada dasarnya fiqh Islam/ politik islam bersumber dari al-Quran, alHadis serta rasio dan praktek kenegaraan yang terjadi baik pada masa nabi, khulafaurrasyidun, bani umayah dan abbasiah.pembukuan dan perumusan secara sistematis tentang siyasah syar’iyyah baru pada masa khalifah al-Mu’tashim pada (218-228 bertepatan 883-824 M), dengan munculnya buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik (Prilaku Raja dalam pengaturan Kerajaan-Kerajaan) oleh Ibn Abu Rabi’ (227 H atau 842 M) terus di teruskan dan bermunculan kitabkitab baru pada abad 18 dan 19 san, seperti karangan Al Mawardi (364-450 H/975-1058) dengan bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyyah atas permintaan 25 khalifah al-Qadir dan juga karangan Ibnu Taymiyyah (661-782 H) al-Siyasah al-Syari’ah fi Ishlah al-Ra’iyyah.[4]
Syari’at adalah ketentuan-ketentuan hukum yang tegas ditunjukan oleh Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah yang dapat dibuktikan kesahihannya, sedangkan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci dan fiqih adalah hasil dari ijtihad dan pemahaman ulama terhadap dalil-dalil hukum terutama Al-Qur’an dan Hadis. Fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah adalah otoritas pemerintah untuk melakukan berbagai kebijakan melalui berbagai peraturan dalam rangka mencapai kemaslahatan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama sekalipun tidak terdapat dalil tertentu.
Fiqih siyasah atau siyasah syar’iyyah berarti politik menurut ajaran syari’at. Dalam bidang ini dibahas tentang ketatanegaraan dalam ajaran Islam. Siyasah syar’iyyah atau fiqih siyasah lebih terbuka (dinamis) dari pada fiqih dalam menerima perkembangan dan perbedaan pendapat. Perbedaan kondisi dan perkembangan zaman berpengaruh besar terhadap Siyasah Syar’iyyah.[5] Dalam fiqih siyasah pemerintah bisa menetapkan suatu hukum yang secara tegas tidak diatur oleh nash, tetapi berdasarkan kemaslahatan dibutuhkan olehmanusia.
Dapat disimpulkan bahwa fiqh Siyasah mempunyai kedudukan penting juga memiliki posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Untuk memikirkan, merumuskan dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat muslim khususnya, dan warga negara lain umumnya. Pemerintah membutuhkan siyasah syar’iyyah. Tanpa politik hukum pemerintah boleh jadi akan sulit mengembangkan potensi yang mereka miliki. fiqih siyasah (siyasah syar’iyyah) juga dapat menjamin umat Islam dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqih siyasah dapat di ibarakan sebagai akar sebuah pohon yang menopang batang, ranting, dahan dan daun, sehingga menghasilkan buah yang dapat dinikmati oleh umat Islam.[6]
[1] Yusdani, Fiqh Politik Muslim Doktrin Sejarah dan Pemikiran, (Yogyakarta: Amara Books, 2011), hlm. 21
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 30.
[3] Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Damascus: Dar al-Fikr,2004), h. 54.
[4] Muhammad Iqbal, Fiqh Siya>sah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), h. 30.
[5] Yusdani, Fiqh Politik Muslim Doktrin Sejarah dan Pemikiran, (Yogyakarta: Amara Books, 2011), hlm. 22
[6] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 3