Sharia Research & Consulting

Fiqih Siyasah

Fikihi Siyasah (السياسي الفقه (merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu kata fikih (الفقه (dan al-siyâsî (السياسي .(Secara etimologi, fikih merupakan bentuk masdhar (gerund) dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-fikihan yang bermakna faham.[1] Fikih berarti pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan tertentu.

Fikihi secara istilah, menurut ulama ushul, yaitu: العلم باألحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ amaliah yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”.[2] Siyasah berasal dari kata bahasa Arab -يسوس- ساس سياسة yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah.[3] Siyasah juga berarti pemerintahan dan politik, atau menuntut kebijaksanaan.[4] Siyasah juga dapat diartikan administrasi (إدارة (dan manajemen. Jadi siyasah menurut bahasa mengandung beberapa arti, yaitu mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, membuat kebijaksanaan pemerintahan dan politik. Artinya, mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai suatu tujuan.

Beberapa pendapat yang berbeda di kalangan ahli fikih tentang asal usul kata siyasah, yaitu :

  1. Al-Maqrizy : Kata siyasah berasal dari bahasa Mongol yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan sin berbaris kasrah diawalnya sehingga dibaca siyasah. Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah kitab undang-undang milik Jenghis Khan yang berjudul Ilyasa yang berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku pindak pidana tertentu.
  2. Ibn Taghri Birdi : Siyasah berasal dari campuran dari tiga bahasa, yakni bahasa Persia, Turki dan Mongol. Partikel Si dalam Bahasa Persia berarti 30, yasa dalam bahasa Turki dan Mongol berarti larangan dan karena itu ia dapat juga dimaknai sebagai hukum atau aturan.
  3. Ibnu Manzhur menyatakan siyasah berasal dari Bahasa Arab, yakni bentuk dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatan, yang semula berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Secara terminologis, siyasah dalam Lisan al-Arab berarti mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Dalam al-Munjid, siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam dan luar negeri serta kemasyarakatan yakni mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqamah. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan siyasah sebagai undang-undang yang diletakkan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.

Fikihi siyasah dikenal pula dengan istilah siyasah syar’iyyah. Siyâsah syar’iyyah secara istilah memiliki berbagai arti :

  1. Imam al-Bujairimi : Memperbaiki permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan.[5]
  2. Imam Ibn ‘Abidin: Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyasah berasal dari Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyasah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyasah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan.[6]
  3. Ahmad Fathi, fikih siyasah adalah Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara.[7]
  4. Ibnu’Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu alQayyim, bahwa fikih siyasah adalah Perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan (kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah (keburukan/kemerosotan), meskipun Rasul tidak menetapkannya dan wahyu tidak membimbingnya.
  5. Abdul Wahab Khallaf memaknai siyasah syar’iyah adalah pengelolaan masalah umum bagi negara bernuansa Islam yang menjamin terealisirnya kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan dengan tidak melanggar ketentuan syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum, meskipun tidak sesuai dengan pendapat para imam mujtahid.
  6. Abdur Rahman Taj, siyasah syar’iyah adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat yang sejalan dengan jiwa syariat dan sesuai dengan dasar-dasar yang universal (kulli) untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat ke-masyarakatan, sekalipun hal itu ditujukan  untuk nash-nash tafshili yang juz’iy dalam alQur’an dan Sunnah.

Pada prinsipnya, definisi yang dikemukakan memiliki persamaan. Siyasah berkaitan dengan mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing mereka kepada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemudharatan. Definisi-definisi tersebut menegaskan bahwa wewenang membuat segala hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengaturan kepentingan negara dan urusan umat guna mewujudkan kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan (pemerintah atau ulil amri). Karenanya, segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan siyasi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan bersifat mengikat. Ia wajib ditaati oleh masyarakat selama produk itu secara substansial tidak bertentangan dengan jiwa syariat.

Siyasah juga biasa diistilahkan politik. Politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata politic berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[8] Politik kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai kebijakan negara atau terhadap negara lain, kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).[9]

Jadi, politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk menjadi kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.[10] Beberapa pakar mendefinisikan politik sebagai berikut :

  1. Ibnul Qayyim mengatakan, politik merupakan kegiatan yang menjadikan umat manusia mendekat kepada hidup maslahat dan menjauhkan diri dari kerusakan, meskipun Rasulullah tidak meletakkannya dan wahyu tidak menurunkannya.[11]
  2. Abdul Qadim Zallum, politik/siyasah adalah mengatur urusan umat, dengan Negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi – melakukan muhasabah terhadap- pemerintah dalam melakukan tugasnya.[12]
  3. Tijani Abdul Qadir Hamid mengutip definisi politik dari Kamus Litre (1870) sebagai ilmu memerintah dan mengatur Negara. Sedang dalam Kamus Robert (1962), politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.[13]
  4. Deliar Noer mendefenisikan politik sebagai segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[14]
  5. Miriam Budiarjo memaknai politik itu sebagai bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals).[15]

Berdasarkan pendekatan itupula dapat dirangkum unsur-unsur politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim sebagai berikut :

  1. Nilai-nilai (ajaran-ajaran agama atau ajaran filsafat dan pemikiran manusia, secara sendirisendiri atau bersama, yang ditransfor-masikan menjadi ideologi politik)
  2. Ideologi politik yang pada satu sisi merupakan pedoman dan kriteria pembuatan aturan hukum, pengambilan kebijaksanaan politik dan penilaian terhadap aktifitas politik. Pada sisi lain mengungkapkan tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai.
  3. Konstitusi yang berfungsi sebagai hukum dasar dan dasar keberadaan (struktural dan fungsional) sistem politik dan negara bersangkutan.
  4. Aktivitas politik yang dapat disimpulkan dalam berbagai fungsi-fungsi politik.
  5. Subjek politik sebagai penyelenggara aktifitas politik dan yang terdiri dari lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat.
  6. Tujuan-tujuan politik baik yang merupakan tujuan antara ataupun tujuan akhir.
  7. Kekuasaan politik atau kewenangan untuk menyelenggarakan aktifitas-aktifitas politik.[16]

Bertolak dari pengertian di atas, politik merupakan tanggung jawab pengaturan dan pemeliharaan urusan umat/masyarakat secara keseluruhan. Jadi tidak terlihat didalamnya musuh perebutan kekuasaan, kekejaman, ketidakadilan, dan lain-lain. karena Islam meletakkan dasar pengaturan dan pemeliharaan urusan umat di atas landasan hukum-hukum Allah, bukan pada kediktatoran penguasa atau keinginan sekelompok orang. Penguasa hanya pelaksana politik yang bersumber dari hukumhukum Allah swt., sedangkan masyarakat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik agar senantiasa berada dalam rel hukum syara.

Politik tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan dalam urusan pemerintahan dalam dan luar negeri, tetapi termasuk pada kebijakan-kebijakan dalam institusi terkecil sekalipun –seperti rumah tangga. Politik atau siyasah adalah cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Politik adalah ruang yang sangat luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam dunia domestik maupun publik, kultural maupun struktural, personal dan komunal. Akan tetapi, dalam perkembangannya, politik memiliki makna yang semakin sempit menjadi istilah politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang masih panjang.


[1] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fikih al-`Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001) vol. 1, 18

[2] Wahbah al-Zuhaylî, Ushul al-Fikih al-`Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001) vol. 1, 19

[3] Louis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h.. 362 dan Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, Vol. VI (Beirut: Dar al-Shadir, 1968), h. 108.

[4] Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasat Al-Syar’iyat (Al-Qahirah: Dar Al-Anshar, 1977), h. 4-5. 3

[5] 5 Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, Hasyiah alBujairimi ‘ala al-Manhaj (Bulaq: Mushthafa al-Babî al-Halabî, t.t.), vol. 2, h. 178.

[6] Ibn ‘Abidîn, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabî, 1987), vol. 3, 147.

[7] Ahmad Fathi Bahantsi, al-siyasah al-Jinaiyyah fi al-syari’at al-Islamiyah, t.dt.

[8] 9Lihat A.S. Hornby A.P. Cowic (ed.), Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English (London: Oxford University Press, 1974), h. 645.

[9] Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 763. Lihat pula Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 694.

[10] Sebagai istilah, politik pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul politea yang juga dikenal dengan Republik. Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 11-12. Kemudian muncul karya Aristoteles yang berjudul politea.(Ibid., h. 26). Kedua karya ini dipandang sebagai pangkal pemikiran politik yang berkembang kemudian. Dari kedua karya inilah dapat diketahui bahwa “politik” merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat.

[11] 12Abd. Hamid al-Gazali, Meretas Jalan Kebangkitan (Cet. II; Jakarta: Era Intermedia, 2001), h. 187. Baca selengkapnya Amatullah Shafiyyah dan Haryati Soeripno, Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implementasinya (Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 17-19.

[12] Abdul Qadim Zallum, Al-Afk±r al-Siy±si (Beirut: Dar alUmmah, t.th.), h. 14. Lihat pula Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan: Bercermin pada Shahabiyat, (Cet.I; Bogor: Idea Pustaka, 2003), h. 134.

[13] Tijani Abdul Qadir Hamid, Pemikiran Politik Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 3.

[14] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 6.

[15] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 8.

[16] 17 Lihat Andi Rasdiyanah, Konsep Etika Politik dalam Persepsi Budaya Bugis Makassar, “Makalah” disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-33 IAIN Alauddin Makassar, November 1998, h. 3.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *