Pemberian maaf dalam hukum pidana di Indonesia dapat menghapus atau mengurangi atau juga meringankan suatu hukuman pidana terhadap pelaku. Pemberi maaf hanyalah dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam hal ini adalah hakim dan penguasa (kepala negara). Pemberian maaf oleh korban atau wali biasanya berupa pencabutan laporan, tetapi hal ini juga perlu dilihat dari jenis delik laporan pidananya. Dalam hukum pidana di Indonesia diketahui ada dua jenis delik dalam pemrosesan perkara pidana yaitu, delik biasa dan delik aduan.
Delik Biasa
Delik biasa merupakan delik yang dapat dituntut atau diproses tanpa adanya pengaduan dari pihak yang bersangkutan. Pada delik ini mulai dari tahap awal proses pemeriksaan perkara diserahkan kepada aparat penegak hukum atau kepolisian. Perkara yang sudah masuk pada lembaga kepolisian tidak akan dapat dihentikan meskipun dari pihak korban atau walinya meminta untuk mencabut perkara. Penghentian proses pemeriksaan delik biasa hanya akan bisa dihentikan dengan alasan-alasan yang diatur pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu:
- Tidak terdapat cukup bukti;
- Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
- Penyidikan dihentikan demi hukum.
Salah satu delik yang termasuk ke dalam delik biasa adalah pembunuhan. Apabila terdapat kasus pembunuhan berdasarkan laporan dari penduduk atau masyarakat setempat maka, setelah laporan tersebut sampai kepada pihak kepolisian pengadu tidak memiliki hak untuk mencabut laporannya. Dikarenakan delik biasa menyangkut kepada kepentingan publik sehingga pemeriksaannya menjadi tanggung jawab pihak berwenang
Delik Aduan
Delik aduan merupakan delik yang hanya dapat dituntut atau diproses apabila adanya aduandari pihak yang bersangkutan. Pada delik ini pihak yang mengadukan kasus dapat mencabut kembali laporannya dengan ketentuan sesuai yang diatur dalam Pasal 75 KUHP, yaitu:Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Setelah lewat dari tiga bulan pengaduan tidak dicabut maka, pemeriksaan akan terus berlangsung meskipun setelahnya pihak pengadu memutuskan untuk mencabut akan tetapi hal tersebut tidak akan menjadi alasan penghentian pemeriksaan perkara.
Pemaafan dengan Penjatuhan Pidana Bersyarat oleh Hakim Ketika perkara berlanjut sampai tahap persidangan maka, yang berhak memberikan pemaafan adalah hakim. Salah satu caranya adalah dengan penjatuhan pidana bersyarat. Dengan dijatuhkannya ketentuan pidana bersyarat, hakim telah memberikan kesempatan kepada terpidana untuk menjadi pribadi lebih baik. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 14a KUHP yang menyatakan bahwa
Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.
Secara umum pidana bersyarat berarti sebagai suatu sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya memiliki syarat-syarat tertentu. Dalam artian, hukuman pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak perlu dilaksanakan, akan tetapi diganti dengan masa percobaan yang lamanya ditentukan oleh hakim. Hal tersebut berlaku selama syarat-syarat yang ditentukan oleh hakim dalam putusannya tidak dilanggar oleh terpidana. Apabila syaratsyarat tersebut dilanggar, maka hukuman pidana yang dijatuhkan barulah berlaku untuk
terpidana.
Pengampunan dari Kepala Negara
Dalam hukum pidana di Indonesia juga dikenal pengampunan dari penguasa yang dapat mempengaruhi hukuman bagi terhukum yaitu melalui grasi, abolisi dan amnesti. Grasi ialah suatu pengampunan yang diberikan oleh Kepala Negara kepada seorang terhukum. Grasi diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Grasi tidak menghilangkan putusan hakim yang bersangkutan, hanya menghapus atau mengurangi atau meringankan pidana. Grasi dapat berupa:
a. Peringanan atau perubahan jenis pidana;b. Pengurangan jumlah pidana; atau
c. Penghapusan pelaksanaan pidana.
Dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan tidak pidana dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu, abolisi hanya dapat diajukan sebelum adanya putusan.