Tahun 2021 menjadi salah satu tahun bersejarah bagi perbankan syariah di Indonesia.Pasalnya pada tahun 2021 merger yang dilakukan oleh tiga perbankan syariah besar diIndonesia yang berasal dari perusahaan BUMN, yakni Bank Mandiri Syariah, Bank RakyatIndonesia Syariah, dan Bank Negara Indonesia Syariah yang di merger dengan nama BankSyariah Indonesia secara efektif telah berlaku. Oktober tahun 2020 lalu Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa tujuan merger bank tiga bank syariah BUMN tersebut adalah untuk memperkuat bank syariah itu sendiri, selain itu juga untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat perbankan syariah di dunia.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo yang mengatakan bahwa tujuan pemerintah melakukan merger tiga bank BUMN syariah tersebut adalah untuk memperbesar kapasitas bank syariah di Indonesia. Akan tetapi, tentunya tidak semua kalangan mendukung adanya penggabungan tiga bank syariah BUMN tersebut, salah satu pihak yang tidak mendukung penggabungan tiga bank syariah BUMN tersebut adalah pihak Muhammadiyah. Bahkan penolakan tersebut sampai kepada penarikan aset PP Muhammadiyah dan mengalihkannya dari bank tersebut. Anwar Abbas selaku Ketua Bidang Ekonomi PP Muhammadiyah mengatakan bahwa salah satu alasannya adalah bahwa dengan adanya penggabungan tiga bank syariah BUMN ini dianggap menciptakan kekuatan yang terlalu besar dalam pasar perbankan syariah dan dikhawatirkan, umat atau rakyat kecil maupun UMKM akan sulit untuk menjangkau pinjaman ke bank dengan skala sebesar itu.
Di Indonesia sendiri, jika hanya melihat pada Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat seperti adanya praktik kartel, oligopoli, penyalahgunaan posisi dominan, dan lainnya.
Melihat dari dokumen rencana penggabungan Bank Mandiri Syariah, Bank Rakyat Indonesia Syariah, dan Bank Negara Indonesia Syariah terlihat nilai total aset keseluruhan ketiga bank tersebut mencapai angka Rp. 214,649 triliun, total tersebut jika dibandingkan dengan total keseluruhan aset bank umum syariah di Indonesia adalah sekitar 56% dari total keseluruhan aset bank umum syariah di Indonesia. Dengan total jumlah aset yang melebihi 50% tersebut memang tidak ayal jika mengatakan Bank Syariah Indonesia memiliki posisi dominan dalam pangsa pasar perbankan syariah. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 25 Ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu;
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu.”
Bahwa total keseluruhan aset milik gabungan merger dalam Bank Syariah Indonesia yang melebihi 50% telah menjadikan Bank Syariah Indonesia sebagai bank syariah dengan posisi dominan di Indonesia. Posisi dominan yang disandang oleh Bank Syariah Indonesia itu sendiri dapat menyebabkan potensi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat seperti adanya potensi penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 oleh Bank Syariah Indonesia itu sendiri. Terlebih lagi dalam Pasal 17 di Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan:
Pasal 17
- Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
- Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :
- barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya; atau
- mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
- satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu